Sunday 26 April 2009

LOST last Chapter

Namun Taro tetap tidak bangun juga, Rita semakin cemas. Matanya kembali meneteskan air, dia terus memanggil Taro. Semakin keras dia memanggil, Taro juga tidak kunjung bangun dari tidurnya. Rita tidak bisa berbuat banyak melihat Taro seperti itu, dia kembali memanggil Taro dengan pelan dan berharap bisikannya bisa membangunkan Taro.

Namun Taro juga tidak terbangun saat itu, Rita memegang erat tangan Taro. Dia masih terus memanggil namun tidak ada reaksi dari Taro. Rita menunduk sedikit dan melihat ada setangkai mawar yang ada di sana. Dia melihat ada sebuah surat di bawah mawar tersebut, Rita lalu membaca surat tersebut. Dia semakin sedih karena membaca surat yang dituliskan Taro tadi malam.

“Ta... Maaf... Aku selalu sayang dengan kamu, jangan pernah sedih lagi yah... Aku lebih senang kalau liat Tata yang terus senyum. Awalnya aku kira kalau cinta itu cuma bisa nyakitin, tapi aku salah... Cinta itu sangat berharga... Aku tulus sayang dengan kamu... Aku harap aku bisa ngerti apa yang Tata rasain ke aku... Kalau Tata udah baca surat ini, berarti aku sudah ada di sana lagi liatin Tata dari tempat itu. Selama ini aku sudah banyak salah, memang aku kurang perhatian, aku terlalu cuek, dan ga bisa ngertiin apa yang Tata mau. Tapi sebenarnya aku sayang dengan Tata, kalau saja Tata tau perasaan aku selama ini gimana... Tapi yang lalu biarlah berlalu, Tata harus tetap semangat. Hari esok masih panjang, sekarang mungkin aku lagi menghadap sang pencipta. Dia terus nanyain aku, apa sih yang aku buat selama hidup. Aku bingung mau jawabnya, tapi aku punya satu jawaban yang pasti. Selama ini aku sudah mencintai seseorang dengan tulus dan apa adanya.
Terus Tuhan nanya lagi ke aku, apa permintaan terakhir aku... Aku bilang, aku punya dua permintaan. Pertama, aku akan meminta Tuhan selalu ngejagain Tata... Kedua, aku minta kepadaNya agar kita dipertemukan lagi di kehidupan yang lain. Dan saat itu aku janji dengan Tuhan, aku bakal ngasih perhatian yang berbeda. Dan ga akan ngulangin kesalahan yang pernah aku buat selama ini... Itu permintaan aku selama ini, aku juga pengen banget nanya sama Tuhan. Kalau aku diizinkan buat nanya sama Tuhan, aku bakal nanya... Sebenarnya apa perasaan Tata ke aku, sampai jumpa Ta... Aku selalu sayang Tata. Maafin aku, dan terima kasih... Maaf karena aku sudah kelewat banyak ngecewain Tata, dan Terima kasih karena Tata udah pernah jadi sesuatu yang berharga untuk aku...”

Surat tersebut berisikan pesan Taro untuk Rita, setelah membaca surat itu Rita semakin sedih. Dia terus menangis di sebelah Taro.

“Ta...” Panggil Rita dengan suara kecil saat itu.
“Aku... Sayang kamu...” Rita akhirnya mengatakan perasaannya kepada Taro, namun sepertinya itu sudah terlambat.

Taro sudah tidak bisa mendengarkan itu lagi. Dia sudah di tempat lain melihat dan terus menjaga orang yang dia sayangi itu. Semua sudah berakhir, orang yang sangat Rita sayangi sudah pergi untuk selamanya. Rita terus menangis, namun tangis pun sudah tidak bisa mengembalikan Taro lagi.

Ucapkanlah, sebelum orang itu tidak bisa mendengarkan suaramu lagi. Tidak ada yang perlu ditakutkan untuk mengungkapkan suatu perasaan di dalam hati.
END

LOST Chap 103

Taro merasa senang bertemu dengan Rita, apalagi bisa sedekat itu dengan dirinya. Namun pikiran tadi malam yang direncanakannya tiba-tiba muncul, dengan terpaksa Taro akan berbicara kepada Rita tentang masalah ini baik-baik. Sebelumnya Rita sempat bercerita dulu bagaimana keadaan dia sekolah, dia juga hari itu pulang agak cepat dari biasanya.

Makanya bisa langsung menjenguk Taro, dia lalu bercerita ini itu. Taro semakin tidak tega untuk mengatakan semuanya, namun dia harus mengatakan itu. Karena dia sama sekali tidak ingin membuat orang yang disayanginya kerepotan. Setelah mendengarkan Rita yang sudah selesai itu, dengan berat hati Taro ingin menyampaikan semuanya.
“Ta... mulai besok jangan ke sini lagi yah...” tulis Taro,wajah Rita yang tadi masih riang perlahan berubah menjadi murung melihat Taro menuliskan seperti itu.
“Di luar masih banyak pria yang sehat, sedangkan aku sudah cacat kek gini. Cuma jadi sampah aja...”

“Tapi... Aku sa....” lagi-lagi Rita masih belum berani mengungkapkan perasaannya. Dia terdiam pada kalimat tersebut.

“Sudahlah, aku juga ga ngarapin Tata lagi. Jadi sekali lagi, tolong tinggalin aku dan jangan pernah ingat kalau aku pernah ada...” mata Rita mulai berkaca-kaca lagi saat itu, setetes air mata pun jatuh mengalir ke pipinya.

“Aku sa...” Rita masih ragu-ragu untuk mengungkapkan perasaannya.

“Kalaupun kita memang bisa rujuk lagi, kenapa baru sekarang...? Kenapa saat aku sudah ga bisa ngapa-ngapin lagi...? Kenapa di saat aku dalam kondisi yang tinggal tunggu mati baru kita dipersatukan...? Kenapa ga dari dulu kita terus jalan satu arah...?” melihat semua pertanyaan Taro, Rita semakin sedih. Dia tidak tau bagaimana harus menjawab pertanyaan Taro.
“Aku mohon, Ta... Daripada aku terus jadi penganggu, lebih baik kita ga usah ketemu lagi.”

“Aku...” air mata Mia terus mengalir saat itu.

“Pergi...” tulis Taro, Rita hanya melihat Taro saat itu. Dia terus meneteskan air matanya, Rita kemudian tidak tahan lagi harus bagaimana. Dia berdiri dan meninggalkan Taro. Bukan hanya Rita yang menangis saat itu, Taro juga meneteskan air matanya. Di dalam hatinya dia ingin sekali terus bersama dengan Rita.

Adi yang sedang duduk diluar melihat Rita keluar dengan menangis lagi, dia langsung masuk ke dalam mengira ada sesuatu yang terjadi dengan Taro. Melihat Taro yang biasa saja, Adi juga kesal.
“Sudah dua kali, Ta... Dua kali kau buat dia nangis...” Taro tetap diam saja, dia kembali meminta bantuan kepada Adi saat itu.

“Di, kalau minta tolong lagi boleh...?”


“Asal bukan cabut selang oksigen...”

“Tolong beliin aku mawar... Aku tunggu...”

“Buat apa...?” Taro tidak menjawab pertanyaan Adi, melihat Taro yang diam saja Adi lalu menghela nafas. Dia segera keluar dari kamar Taro dan segera mencari setangkai mawar pesanan Taro. Adi terus mencari, dia berputar dan terus mencari mawar tersebut. Akhirnya Adi menemukan toko bukan, dia segera masuk ke dalam dan membeli setangkai mawar merah seperti yang diminta Taro. Hari sudah malam, Adi baru kembali dan mengantarkan mawar pesanan Taro.

Dia meletakkan mawar tersebut di atas meja tempat Taro menuliskan pesannya. Mereka lalu kembali berbicara, Taro menjelaskan semua alasan kenapa dia membuat Rita bersedih. Dia juga sedih karena melihat Rita terus menangis, namun hanya itu jalan untuk memisahkan mereka. Perjuangan Taro selama ini harus berakhir dengan cara yang sama sekali tidak dia duga sebelumnya. Hari makin larut, Adi terpaksa harus pulang. Dia meninggalkan Taro sendirian malam itu.

Taro lalu menuliskan suatu pesan di kertas tersebut, sepertinya dia menuliskan cerita malam itu. Dia menghabiskan beberapa saat untuk menyelesaikan tulisannya, setelah Taro menyelesaikan tulisannya. Dia lalu mengambil setangkai mawar yang dekat dengannya, Taro lalu menindih kertas itu dengan mawarnya. Taro terdiam sebentar saat itu, sesaat air mata mulai mengalir membasahi wajahnya. Taro masih memandang ke langit-langit kamarnya, setelah itu. Tangan kiri Taro memegang selang oksigen yang tergerai di tempat tidurnya. Taro masih ragu-ragu saat itu, dia lalu melepas tangannya dari selang oksigen tersebut.

Kemudian Taro memegang selang tersebut lagi, dia membranikan diri untuk melepas selang oksigen yang menopang kehidupannya itu.
Selang itu terlepas dari hidungnya, Taro agak sulit bernafas saat itu. Beberapa saat kemudian, Taro terkulai lemah. Dia tidak sadarkan diri saat itu, saat kejadian tersebut terjadi. Rita sudah terlelap di kamarnya, dia memimpikan bahwa Taro sedang datang mengunjunginya untuk berpamitan. Namun itu hanya sebuah mimpi, keesokan paginya. Rita berangkat ke sekolah.

Namun dia tidak berangkat ke sekolah, Rita malah sengaja membolos dan menuju ke rumah sakit. Beberapa saat kemudian Rita sampai di rumah sakit, dia kemudian langsung berlari ke atas untuk mengunjungi Taro. Rita berdiri di depan pintu kamar Taro dan menenangkan pikirannya. Dia masih sedikit takut untuk mengunjungi Taro, tangannya langsung membuka pintu kamar Taro.

Rita segera masuk ke dalam dan mendapati Taro masih tertidur, namun ada yang berbeda. Selang oksigen itu terlepas dari hidungnya. Rita langsung mendekati Taro dan melihat keadaannya, dia bingung saat itu. Rita lalu mencoba untuk membangunkan Taro, dia terus memanggil.

LOST Chap 102

“Cari penyakit memang... Udah di bilang tunggu beberapa hari lagi, apa salahnya nunggu bentar. Kamu nunggu Rita segitu lama aja betah...” kata Adi sambil sedikit tertawa, Taro juga tersedak sedikit karena tertawa.

“Bukan itu masalahnya, aku cuma yakin kalo bisa jalan. Eh... ga taunya, terjun bebas ke bawah”

“Udahlah, kapan-kapan aja baru SMS lage...” kata Adi...
“Belajar nulis yang bagus dulu, susah nih bacanya... Kamu istirahat aja dulu, aku juga mau baring-baring bentar...” Hari semakin sore, Adi lalu terbangun dan dia pergi ke kamar mandi untuk merapikan wajahnya yang baru bangun dari tidur. Adi berniat untuk mencari makan saat itu, melihat Taro yang masih terkapar sepeti itu. Adi tidak berpamitan, dia lalu meninggalkannya dan pergi mencari makan.

Rita yang masih mengenakan seragam sekolah saat itu langsung menuju ke kamar Taro. Dia naik ke atas dan mengarah ke kamar Taro, di depan pintu. Dia membuka pintu pelan-pelan agar Taro tidak terbangun dari tidurnya. Rita lalu masuk ke dalam, dia melihat Taro yang masih tertidur. Kemudian Rita meletakkan tas sekolahnya di sofa. Rita kemudian mendekati Taro dan duduk di sebelahnya, dia memegang tangan Taro dan membelainya. Rita melihat kalau disebelahnya ada kertas yang ada tulisannya. Dia mengenal gaya tulisan itu, dan itu adalah tulisan Taro. Rita lalu bingung melihat itu, di membaca kedua kalimat yang ditulis Taro dan berusaha memahaminya.

Rita baru sadar kalau saat itu Taro sedang berusaha untuk berjalan, jadi pikiran mereka selama ini salah. Namun tetap saja dia merasa tidak enak hati kepada Taro. Rita mengangkat tangan Taro dan menempelkannya di pipi. Seketika Taro terbangun karena itu, dia melihat Rita yang sedang terpejam. Taro kemudian menggerakkan tangannya untuk memanggil Rita, Rita kemudian melihat ke arah Taro. Taro mengambil pena yang ada di sampingnya itu, melihat itu Rita lalu sadar kalau Taro ingin menuliskan sesuatu. Dia meletakkan kertas itu dekat tangan Taro. Dan Taro menuliskan.
“(^ ^)” itu yang dituliskan Taro, lebih tepatnya dia menggambarkan wajah senyum. Dia senang melihat Rita ada di sana saat itu. Melihat gambar itu Rita tertawa kecil. Rita lalu mengambil pena Taro dan menuliskan sesuatu juga, mereka lalu saling berbicara dengan kertas itu. Hingga Adi tiba di sana dan melihat mereka seding berbicara melalui pesan.

“Udah makan, Ta...” tanya Adi kepada Rita, dan Rita menjawabnya sambil mengucapkan terima kasih. Hari semakin larut, Taro kemudian menyuruh Rita untuk pulang dan mandi. Pasti orangtua Rita bingung karena dia belum pulang juga, Rita kemudian mengangguk. Taro meminta Adi untuk mengantarkan Rita pulang. Dan Adi tidak bisa menolak permintaan seseorang yang sudah tidak berdaya seperti itu. Beberapa saat kemudian datang Mia dan Richard untuk menjenguk Taro, mereka bertemu dengan Rita dan Adi yang sedang menuju ke mobil.

Adi mengabarkan kalau Taro sudah sadar dan bisa berkomunikasi lewat tulisan. Mereka lalu berpisah, Adi mengantarkan Rita sedangkan Mia dan Richard segera naik ke atas untuk melihat keadaan Taro. Mereka lalu saling berbicara, meski harus menunggu sesaat untuk Taro menyelesaikan tulisannya. Namun mereka masih bisa berbicara dengan lancar. Malam itu saat mereka semua sudah pulang, Taro sendirian di kamar tersebut. Perasaannya bercampur aduk antara senang dan sedih.

Dia senang karena Rita mulai perhatian dengannya lagi, dan dia sedih karena tidak bisa membalas perhatian Rita karena kondisi tubuhnya yang tidak memungkinkan untuk memberi perhatian. Dia mulai berpikir yang tidak-tidak saat itu, dia merasa tidak pantas lagi untuk bersama Rita dalam kondisi yang berantakan seperti itu. Dia berencana untuk meminta Rita agar tidak mencari dan segera melupakannya. Taro lalu tertidur.

Keesokan harinya Jimmy yang datang menjenguk Taro, mereka lalu berbicara. Namun Jimmy memang tidak berperi kemanusiaan, Taro yang sudah sengsara seperti masih saja dikerjainya. Taro juga tidak bisa melawan saat di acak-acak oleh Jimmy, hingga Adi datang ke sana. Dia baru selesai kuliah, dan saat itu baru pukul satu siang. Sehabis makan Adi yang melesat ke rumah sakit, melihat ada yang menggantikan Jimmy lalu bertukar dengan Adi. Jimmy lalu pulang untuk membereskan pekerjaannya. Taro lalu memulai pembicaraannya.
“Di, aku mau minta tolong. Bisa ?” Adi hanya mengangguk saja.
“Berat lho...”

“Apa...? Aku usahain sebisa aku, Ta...”
“Tolong cabut selang oksigennya...” melihat Taro yang meminta hal seperti itu, terang Adi langsung terkejut.

“Gila juga ada batasnya, Ta...” kata Adi pelan, dia tidak mungkin melakukan hal seperti itu.
“Tega Di liat ak kek gini? Ak ga tahan kalau misalnya hidup harus kek gini” Adi tidak bisa menjawab pertanyaan Taro, dia berusaha mengerti perasaan Taro yang harus hidup dengan kondisi tersebut. Namun Adi juga tidak tega kalau harus melakukan hal seperti itu, pintu kamar lalu terbuka.

Adi melihat siapa yang datang saat itu, ternyata Rita. Rita lalu mendekati mereka, namun Adi mengajak Rita keluar sebentar untuk membicarakan masalah yang penting. Mereka berdua lalu keluar dari kamar Taro.
“Ta... Aku minta tolong, buat dia tetap semangat...”
“Kamu tau kan, kalau dia dari dulu tuh bener-bener sayang dengan kamu. Salut juga sih dengan semangat dia yang ga bosan nunggu satu orang...”
“Kami jadi temannya cuma pengen dia ga sedih terus...” Rita hanya mengangguk, kemudian dia masuk ke dalam dan menemui Taro.

LOST Chap 101

“Dok...” dokter tersebut lalu menoleh ke belakang.
“Maksud anda teman kami itu lumpuh...?”

“Lehernya sempat terbentur keras dan tidak patah, namun pita suaranya robek akibat itu. Dan dia tidak bisa berbicara, dan otot penggerak lainnya tidak berfungsi lagi. Tangan dan kakinya tidak bisa di gerakkan...” jelas dokter tersebut, mendengar penjelasan tersebut Adi juga tidak bisa berkata apa-apa lagi. Malam itu juga Taro dipindahkan ke ruang rawat inap, jarum infus tetap menancap di tangan dan katup oksigen yang membantu Taro untuk bernafas. Dia benar-benar tidak berdaya saat itu, mereka berada di dalam kamar Taro dan hanya bisa melihatnya saja.
“Maaf, Ta... Ini semua slah aku...” kata Rita, dia duduk di sebelah Taro sambil memegang tangannya.

“Apa harus menyalahkan diri sendiri...?” Mia angkat bicara saat itu, para pria hanya melihat ke arah Mia.
“Apa mungkin dia akan menyalahkan orang lain...?”

“Betul kata dia Ta... Aku yakin Taro ga bakal nyalahin siapapun... Terlebih kamu, harusnya kamu tau itu...” Adi menyambung perkataan Mia.

“Kalaupun memang kamu yang salah, aku yakin dia pasti maafin kamu...” Jimmy menambahkan sedikit kalimat untuk membuat Rita tetap tenang, Rita lalu menangis di atas tangan Taro. Jam di dalam kamar itu terus berdetak, saat itu pukul sepuluh malam. Dan mereka belum beranjak dari sana, Adi lalu bediri dan memegang pundak Rita.

“Kita pulang sekarang, aku rasa Taro juga pengen kamu pulang sekarang. Besok ada sekolah...” Rita hanya mengangguk, dia lalu berdiri dari sana. Adi lalu membawa Rita pulang ke rumahnya.

“Jim... Tungguin bentar...” Jimmy hanya mengangguk. Richard juga berkata kepada Mia untuk segera pulang, Mia hanya mengangguk juga. Dia lalu pulang bersama dengan Richard. Hanya tinggal Jimmy di sana, dia duduk di sofa menemani Taro yang masih belum sadar. Adi dan Rita sudah berada di dalam mobil, mereka mengarah ke rumah Rita saat itu.

Dua tiga hari kemudian akhirnya Taro sadar, Adi yang saat itu berada di kamar Taro. Dia melihat mata Taro terbuka, kemudian Adi langsung pergi mencari dokter untuk mengatakan kalau Taro sudah sadar. Dokter itu lalu bergegas ke kamar Taro dan memeriksanya kembali. Dokter itu segera memeriksa Taro, sedangkan Adi hanya melihat dari belakang tidak tau apa yang sedang terjadi saat itu.

“Ini...” kata dokter tersebut setelah memeriksa keadaan Taro.

“Kenapa...? Ada yang salah...?”

“Ini... Padahal... Entahlah, tapi sepertinya dia bisa menggerakkan kedua tangannya.” Dokter tadi sedikit tidak percaya dengan keadaan Taro, padahal dia sudah divonis tidak bisa menggerakkan fungsi tangan dan kakinya lagi. Adi melihat Taro yang bisa menggerakkan tangannya.

“Dia... Dia bisa denger apa yang kita ngomongin, dok...?”

“Dia masih bisa melihat, mendengar, dan mencium bau... Hanya saja pergerakannya yang terbatas...” Adi lalu mengajak dokter itu keluar, dia ingin berbicara kepada dokter itu tanpa didengar oleh Taro.

“Dok... Apa ada kemungkinan dia akan normal kembali...?”

“Keadaan seperti juga sulit baginya, kalau dulu mungkin ada kemungkinan dia masih bisa berjalan lagi. Tapi kali ini, benturan tersebut mengenai tulang belakangnya. Itu yang membuatnya menjadi lumpuh, kami belum pernah dengar ada orang yang benar-benar lumpuh bisa normal lagi. Kecuali memang ada sebuah keajaiban yang membuat dia bisa normal lagi...”

“Jadi maksud anda... Dia akan selamanya terbaring...?” dokter itu hanya mengangguk, dia lalu menepuk pundak Adi dan meninggalkannya. Adi lalu masuk lagi ke kamar Taro dan melihat keadaannya. Dia berbicara kepada Taro, namun Taro tidak bisa membalasnya. Taro hanya berkedip saja saat itu. Terlintas di kepala Adi, Taro bisa menggerakkan tangannya. Dan satu-satunya cara untuk berkomunikasi hanya memberikan kertas dan pena untuk Taro.

Mungkin saja Taro masih bisa menulis saat itu, dia lalu berkata demikian kepada Taro dan mencari kertas dan pena. Taro masih bisa memegang pena tersebut, ternyata pikiran Adi berhasil. Taro dapat menulis, walaupun kurang begitu lancar. Adi lalu tersenyum, begitu juga dengan Taro. Dia ingin sekali tertawa, namun dia hanya bisa tersedak menandakan dia tertawa. Adi lalu bertanya kepada Taro kenapa dia bisa jatuh dari tangga saat itu, Adi mengira kalau Taro ingin bunuh diri saat itu.

Adi kemudian menggeser meja tersebut untuk di dekatkan dengan tangan Taro. Jadi Taro dapat menulis di atas meja tersebut. Adi langsung menyiapkan beberapa kertas untuk berbicara dengan Taro. Kemudian Taro menuliskan...
ga mungkin lah, aku cuma pengen tes jalan aja. Mana tau bisa jalan kalo dipaksa” Taro bisa menulis seperti itu, walaupun tulisannya jelek namun dia cuek saja.

LOST Chap 100

Saat Rita meletakkan kakinya di lantai tersebut, dia melihat ke kiri dan melihat Taro turun dari kursi rodannya dan ingin menuruni tangga tersebut. Sayangnya kaki Taro masih belum bisa digunakan, Taro lalu terjatuh dari kursi rodanya dan terguling ke bawah. Melihat hal itu Rita terang langsung berteriak, dia berlari ke tangga yang satunya lagi dan menuruninya.

Dia mengangkat tubuh Taro yang terkulai itu, beberapa hantaman ke kepalanya terjadi saat Taro terjatuh dari tangga itu. Rita langsung berteriak minta tolong, suasana lalu kembali hening. Taro kembali ke ruang UGD saat itu untuk menjalani oprasi lagi. Rita menunggu di depan kamar Taro untuk memberitahukan kepada teman Taro kalau misalnya mereka datang menjenguk. Saat itu dia terus menangis menunggu di depan kamar Taro, seketika Adi dan Jimmy muncul berdua di sana. Mereka melihat Rita yang sedang menangis dan mendekatinya.

Mereka menanyakan ada masalah apa hingga Rita menangis seperti itu, Rita menceritakan bagaimana dia melihat Taro yang terjatuh dari tangga. Dia bilang sekarang Taro ada di ruang UGD, mereka bergegas ke sana untuk menunggu kabar dari dokter lagi. Kejadian berulang lagi, mereka menunggu lama sekali di depan ruang UGD. Mereka bertiga sangat cemas saat itu, sedangkan Jimmy ingin sekali menghubungi orangtua Taro dan menceritakan ini semua. Namun Adi tetap menghalangi Jimmy menghubungi orangtuanya.

Taro saat itu sudah berpesan agar mereka jangan menghubungi orangtuanya, dia tidak ingin membuat keadaan menjadi semakin rumit. Kalau saja mereka tau Taro masuk rumah sakit, mereka pasti akan sangat cemas sekali. Sedangkan Rita juga tidak bisa berbuat apa-apa, dia hanya duduk dan berharap Taro baik-baik saja. Waktu tidak terasa sudah menjadi malam lagi, para dokter juga belum selesai. Di kamar Taro terlihat Mia dan Richard yang kebingungan karena Taro tidak ada di dalam kamar, mereka mengira kalau Taro sudah pulang saat itu.

Mereka lalu bertanya kepada resepsionis untuk mengetahui Taro ada di mana, resepsionis mengatakan kalau pasien tersebut sedang ada ruang UGD menjalani oprasi karena dia terjatuh dari tangga. Terang mereka berdua langsung menuju ke sana. Mereka melihat Adi, Jimmy, dan Rita yang sedang menunggu Taro di dalam. Mereka lalu mendekatinya dan menanyakan keadaan Taro, mereka juga tidak tau keadaan Taro bagaimana saat itu. Yang bisa mereka lakukan hanya menunggu sambil berdoa agar Taro selamat.
“Di... Aku ga tahan lagi harus gini...” Jimmy kemudian mengeluarkan HP nya dan menghubungi seseorang.

“Telpon siapa...?” Tanya Adi melihat ke arah Jimmy, mereka semua dalam keadaan panik.

“Aku mau kasih tau sama orang rumah, supaya mereka datang. Biaya aku yang tanggung...”

“Matiin...” Adi lalu berdiri dan merebut HP Jimmy.

“Biaya aku yang tanggung...!” bentak Jimmy, mereka hanya melihat Jimmy dan Adi yang saling berdebat.

“Ini bukan masalah biaya...! Ngerti ga sih...!”

“Sudah sampe kek gini, masa masih ga mau kabarin mereka...!”

“Taro yang bilang kalau jangan kasih tau mereka, dia ga mau kalau mereka itu cemas...!”
“Sini...!” Jimmy merebut HP nya dari Adi, namun Adi tidak ingin memberikannya. Jimmy dan Adi saat itu dalam kondisi emosi, mereka kembali berkelahi lagi. Sedangkan Mia dan Rita tidak tau harus berbuat apa untuk memisahkan mereka, Richard yang geram melihat tingkah mereka mulai turun tangan. Dia menarik Jimmy dan melemparnya ke lantai, sedangkan Adi didorongnya ke dinding.

“Ini rumah sakit...! Kalian kira kalau gini masalah langsung selesai...!”
“Jangan buat ulah di sini...! Yang panik bukan cuma kalian, kami juga panik di sini...!” Mereka berdua pun terdiam saat Richard turun tangan, memang benar. Yang mereka lakukan tidak akan membuat keadaan menjadi lebih baik, mereka hanya bisa menunggu dokter tersebut keluar dan menjelaskan keadaan Taro. Jam dinding terus berputar, semenit berlalu terasa seperti satu jam saja.

Jam tersebut menunjukkan pukul delapan lebih sedikit. Pintu ruang UGD itu terbuka, mereka melihat ke arah pintu itu. Dokter lalu keluar dari sana melepas sarung tangan dan maskernya.
“Keadaanya gimana dok...?” Rita yang bertanya duluan.

“Kepalanya mengalami pendarahan... Luka akibat kecelakaan kemarin semakin parah saja, dan...”

“Apa dok...?” terlihat Rita yang paling mencemaskan keadaan Taro saat itu, yang lainnya hanya terdiam melihat Rita saat itu.

“Sebenarnya saya tidak ingin mengatakan hal ini, namun...” mereka berlima sangat tegang menunggu kepastian dari dokter.

“Tulang belakangnya patah karena benturan, dan dia lumpuh untuk selamanya... Maaf...” dokter itu lalu meninggalkan mereka, sedangkan Rita hanya tersujud saat itu. Dia tidak tau harus berbuat apa, Mia lalu memeluk Richard karena sedih mendengar kabar tersebut. Jimmy dan Adi lalu terduduk. Seorang suster lalu mendatangi mereka dan memberikan daftar biaya administrasinya, Richard dan Jimmy lalu pergi ke depan untuk menguruh semua itu.

Sedangkan Mia duduk di sebelah lalu menopang Rita untuk duduk di kursi. Dia berusaha menenangkan Rita yang tidak percaya kalau semua ini harus terjadi. Adi lalu berdiri dari sana dan pergi menemui dokter tadi, dia ingin memperjelas kondisi Taro. Dia lalu berjalan mengejar dokter tadi yang masih belum jauh.

LOST Chap 99

“Dia ga ngomong ke aku kalau dia sayang... Aku rasa dia masih benci dengan aku, terus ngejenguk aku ke sini cuma karena kasian...”

“Bego atau apa sih, Ta...! Dia udah minta maaf, dia juga udah nunjukkin sikap kalau dia perhatian dengan kamu. Bukannya dulu kamu pernah bilang kalau bakal maafin semua kesalahan dia...? Sekarang...? Apa...?! Mau balas dendam gitu...!”

“Di...” panggil Taro kecil.
“Ini... Urusan... Pribadi... Aku...”
“Aku sadar dengan hal yang aku buat, aku sengaja ngomong...” Adi langsung memotong perkataan Taro.

“Sengaja...?! Mudah sekali ngomong kek gitu, apa kamu tau perasaan dia ngeliat orang yang masih dia sayang itu malah benci dengan dia. Harusnya kamu tau perasaan itu Ta... Kamu udah pernah ngerasain perasaan seperti itu, ga seharusnya kamu malah buat dia yang ngerasain perasaan itu. Hargai perasaan orang lain... Bukannya itu yang sering kamu bilang...”

“Di...”
“Kondisi aku yang sekarang ini cacat, kenapa dia ga bilang sayang pas aku masih sehat dulu. Bukan dalam keadaan cacat yang ga jelas kek gini...!”
“Ngapa harus semua sudah jadi kek gini baru dia ngomong kalau dia itu sayang... Kamu pikir itu apa Di...? Apa kamu tega ngeliat dia kerepotan ngurusin aku yang sama sekali ga bisa jalan ini...!”
“Aku sayang dengan dia bukan mau ngerepotin dia, Di... Aku sayang dengan dia karena mau aku yang direpotin, bukan ngerepotin...”
“Kamu pasti ngerti kan yang aku pikirin...”

“Ya...! Aku tau maksud kamu itu baik...! Tapi apa perlu sampai gini...? Apa perlu kamu buat dia nangis karena pemikiran kamu yang sama sekali egois itu...! Ke mana Taro yang aku kenal...? Mana Taro yang selalu sok bijak itu...? Mana Taro yang selalu ngomong kalau sayang itu ga ngeliat keadaan fisik, dan selalu nerimana apa adanya... Mana Ta...? Mana...?!”

“Orang itu sudah mati lama sekali, dan sekarang orang yang lagi ada di sini dengan kondisi yang ga jelas sama sekali ini... Adalah orang yang egois, dia sama sekali hanya mentingin dirinya sendiri.”

“Nyerah...?”
“Apa kamu nyerah karena cuma kehilangan kaki...? Kalau aku liat lagi, kamu itu sama saja jilat ludah sendiri... Apa yang kamu ucapkan selama ini sama sekali ga kamu lakuin. Cuma cuap-cuap ga jelas, kelihatannya bermakna namun itu semua cuma ungkapan hati yang sifatnya sampah...”

“Terserah kalian mau ngomong apa, tapi aku udah bulat dengan keputusan ini... Aku ga mau dia susah karena kondisi yang sama sekali ga jelas seperti ini. Bahkan mau ke kamar mandi pun susah...”

“Terserah lah, Ta... Aku bingung ngadepin orang yang mudah putus asa kek gini. Aku sebagai teman juga ga bisa buat banyak, aku harap kamu ga nyesal dengan semua ini.” Adi lalu duduk di sofa tersebut dan tidak habis pikir karena Taro tiba-tiba berubah seperti ini. Suasana di dalam lalu terasa dingin, bukan karena AC yang dinyalakan. Namun karena suasana diam yang membuat itu menjadi dingin. Adi lalu berdiri dan meninggalkan Taro saat itu. Taro juga tidak banyak bicara, dia langsung tidur saat itu. Sedangkan Rita yang saat itu sudah berada di dalam taksi hanya bisa menangis terus.

Keesokan paginya, Taro meminta suster untuk membawakannya kursi roda. Dia ingin berkeliling sebentar, karena sudah lama berada di dalam kamar dan merasa bosan. Rita juga yang baru terbangun saat itu berniat untuk mengunjungi Taro, dia tidak ingin semua berakhir seperti ini. Rita segera bersiap-siap untuk ke rumah sakit. Sedangkan Taro dituntun oleh suster itu berkeliling di rumah sakit, namun Taro meminta suster itu meninggalkannya sendirian. Karena Taro tidak suka dituntun, dia ingin berputar-putar sendirian.

Suasana di tempat itu juga sepi, tidak terlihat sama sekali ada orang yang berlalu-lalang. Jadi Taro bisa puas bermain dengan kursi rodanya, suster itu pun meninggalkan Taro dengan perasaan cemas juga. Jam menunjukkan waktu makan siang, perut Taro juga sudah keroncongan saat itu, namun perasaan lapar itu dikalahkan oleh rasa penasaran Taro. Dia kemudian mendekati jendela dan melihat pemandangan di luar, dia berada di sana cukup lama juga dan tertidur. Jam sudah menunjukkan pukul tiga sore, Taro lalu tersadar dari tidurnya.

Dia lalu meninggalkan tempat itu dan terus bermain sendirian. Rita terlihat sudah sampai di rumah sakit tersebut, dia turun dari taksi dan segera menuju ke atas untuk berbicara lagi dengan Taro. Rita menaiki tangga saat itu, dia malas menunggu lift yang orangnya juga mengantri saat itu. Taro terus berkeliling hingga dia melihat tangga saat itu. Taro lalu melihat sekitar dan memang tidak ada orang, dia lalu mendekati tangga tersebut. Sedangkan Rita menaiki tangga yang berbeda saat itu.

Taro sudah di ujung tangga, dia melihat ke bawah dan berniat untuk turun dan bermain lagi. Namun dia bingung bagaimana cara untuk turun ke bawah, menyadari kakinya yang sama sekali tidak bisa berfungsi itu membuatnya semakin kesal. Taro masih terdiam di sana dan terus melihat ke bawah. Sedangkan Rita masih berjalan naik dari tangga yang satunya lagi. Taro memegang roda kursi roda itu dan siap untuk turun ke bawah, dia membranikan dirinya untuk turun dari kursi roda tersebut. Taro bermaksud untuk memaksakan kakinya agar bisa berjalan lagi seperti biasa. Rita kemudian sudah hampir sampai ke atas dan ingin menuju ke ruangan Taro, cukup menoleh ke kiri maka dia akan melihat Taro yang berada di tangga satunya.

LOST Chap 98

“Kata dokter memang masih belum bisa digerakin, tapi nanti juga bisa kok. Cuma nunggu waktu...” kata Adi berusaha agar Taro tidak curiga.

“Jangan bohong, aku sudah lama kenal kalian...”

“Beneran... Kata dokter memang harus nunggu...”

“Di...!” bentak Taro saat itu.
“Tolong... Jujur, aku terima kenyataan kok...” Adi lalu terdiam saat itu, dia tidak tahu apa yang harus dikatakan lagi. Taro semakin memaksa Adi untuk bercerita tentang keadaannya. Adi tidak tau harus berbuat apa lagi, dia kemudian menceritakan secara detil tentang keadaan Taro.

Dia juga bilang kalau kaki Taro tidak bisa dipakai lagi, memang masih ada kemungkinan untuk sembuh. Namun kemungkinan tersebut sangatlah kecil, mendengar itu semua. Taro tidak terkejut, dia hanya menganggukkan kepalanya mengetahui kondisi dirinya yang sekarang.
“Lumpuh yah...”

“Sorry Ta, bukannya aku mau bohong. Tapi dokter memang bilang kalau masih ada kemungkinan sembuh, jadi...”

“Aku ngerti kok... Ya udah... Apa boleh buat...”
“Untung cuma patah kaki... Itung-itung masih selamat, Di...” Taro malah tersenyum saat itu, dia tidak ingin berkecil hati atau langsung hilang harapan. Adi pun tidak tau harus berbuat apa lagi, melihat Taro yang tidak begitu kecewa dengan keadaannya. Adi hanya bisa tersenyum juga saat itu.

Hari memang masih pagi saat itu, Adi tidak ada jam kuliah. Dia lalu permisi kepada Taro untuk mencari makan diluar, mungkin dia akan kembali agak lama. Taro menitip makanan kepada Adi, setelah itu Adi lalu keluar dari kamar Taro. Rita kemudian datang menjenguk Taro saat itu, dia tidak bertemu dengan Adi. Segera Rita langsung masuk ke kamar Taro, seperti biasanya mereka terus berbicara. Namun ekspresi Taro tidak seperti biasanya.
“Kenapa Ta...?” tanya Rita yang mengetahui ada sesuatu yang mengganggu Taro.

“Ta...” suasana terdiam sesaat, Taro masih mengumpulkan kebranian untuk mengucapkan kalimat yang sudah disiapkannya.
“Mulai hari ini... Jangan dekati aku lagi...” Rita bingung karena Taro tiba-tiba berkata demikian.

“Kena...” tanya Rita, namun perkataan itu langsung dipotong oleh Taro.

“Aku benci sama kamu, tolong... Jangan temui aku lagi dari sekarang.”

“Tapi aku sa...” Rita kemudian berhenti, dia tidak melanjutkan kalimat tersebut. Rita masih belum berani mengungkapkan perasaannya. Matanya juga sudah mulai berkaca-kaca saat itu.

“Aku mohon... Tinggalin aku sendirian sekarang...”

“Tapi, Ta...”

“PERGI...!!!” Taro terlihat sangat berbeda dari biasanya, dia sama sekali tidak memandang ke arah Rita lagi. Dia mengusir Rita saat itu, Rita hanya menggelengkan kepalanya seakan tidak percaya kalau Taro akan berbuat seperti itu kepadanya. Air matanya mengalir, dia lalu berdiri dari tempat duduknya dan segera berlari keluar.

Rita langsung keluar dari kamar Taro dalam keadaan menangis, dia berpas-pasan dengan Adi. Adi kemudian memanggil Rita, namun Rita terus berlari saat itu. Dia lalu bingung dengan keadaan tersebut, Adi bergegas ke kamar Taro. Dia melihat Taro yang sedang berbaring dan menutup mata dengan lengannya. Adi lalu berjalan ke depan tempat tidur Taro.
“Tadi aku liat Rita nangis di luar...” Taro hanya tersenyum mendengar Adi berkata demikian.
“Kok... Tadi ngapain emang...?”

“Aku maki-maki dikit sih...” kata Taro tertawa kecil saat itu, Adi semakin bingung dengan sifat anak ini.

“Kau maki Ta...?” Taro lalu mengangguk.

“Bukannya dulu kau sampe muja-muja dia, sampe ngarapin dia, sampe ngelakuin hal yang ga guna...! Terus sekarang kesempatan buat dia kembali sudah ada di depan mata malah kau buang...! Sekarang... Mau kamu itu apa sekarang...!” Adi mulai memarahi Taro saat itu, dia kesal dengan sikap Taro yang tidak menghargai kesempatan.

“Itu kan dulu... Dulu dengan sekarang pasti beda donk...” Taro masih tidak menunjukkan kalau dia sedih melakukan hal tersebut.

“Ah...! Jelas-jelas dia uda ngomong dengan aku kalau dia itu sebenernya sayang dengan orang kek kamu...! Tapi... Sekarang kamu malah... Ah...!”