“Maaf banget yah... Ga sengaja... Suer... Gara-gara Kiki nih...” Taro sudah melepas tangannya, dia hanya mengangguk saat itu.
“Lain kali kalau anarkis jangan sembarangan, korbannya bisa orang yang ga berdosa. Seperti aku gini...”
“Narsis...” kata Lily pelan.
“Hah...?” Taro masih juga tidak mendengar ucapan Lily.
“Ga ada apa-apa kok, maaf yah... Ga marah kan...?”
“Lewat lah... Aku juga mau pergi dulu, kerja yang rajin Li... Biar naik gaji.” Taro lalu berjalan kelaur dari rumah makan tersebut. Dia ingin membeli beras, minyak goreng, dan kebutuhan lainnya untuk memasak sendiri.
Namun dia tidak menemukan tempat yang bisa membeli semua kebutuhan itu sekaligus, Taro lalu kembali ke minimarket dekat kosnya untuk membeli minyak goreng saja. Setelah membeli minyak goreng dan beberapa cemilan, dia lalu pulang ke kosnya untuk menaruh semua belanjaan tersebut. Cuaca juga tidak begitu terik, Taro terus berjalan hingga sampai juga di depan tempat kosnya. Dia lalu berjalan dan menaiki tangga itu, segera Taro mengeluarkan kunci dari saku celananya dan membuka pintu kamar.
Dia kemudian menutup kembali pintu itu dan masuk ke arah dapur untuk meletakkan minyak goreng. Beberapa cemilan lainnya di letakkan di atas meja untuk siap disantap kapan saja. Taro segera mengganti celana panjangnya. Karena dia ingin tampil dengan busana santai saja, Taro mengambil sedikit uang dari dompetnya dan ditaruh di celanannya. Dia tidak membawa HP nya saat itu. Taro kemudian keluar dari kamarnya dan ingin pergi lagi, kehidupan anak kos memang terkesan bebas. Dari tadi dia juga tidak melihat Mia, mungkin saat ini dia sedang kuliah. Dia lalu berjalan ke arah tangga, saat dia ingin turun. Taro berjumpa dengan Jimmy yang sedang naik ke atas. Dia juga mengenakan pakaian apa adanya, tidak terlihat sosok seorang pengusaha muda pada dirinya saat itu. Celana jeans pendek berwarna coklat dan kaos warna biru dikenakannya.
“Nah... Muncul...” sahut Taro duluan ketika mereka bertemu.
“Ngapaen...?”
“Makan siang ga...? Laper nih...”
“Waih... Memang tuan muda nean... Datang sini cuma buat makan siang...”
“Jangan ngajak ribut, Ta... Apanya tuan muda, masih makan gaji orang ini.”
“Ho oh... Makan apa...? Nasi padang mau...?”
“Serah lah... Yang penting makan, terus perut kenyang...” Mereka lalu berjalan menuruni tangga itu dan segera mencari rumah makan padang terdekat. Hingga mereka menemukan rumah makan padang yang ada di sana, tanpa ragu kaki mereka melangkah sendiri memasuki rumah makan padang tersebut. Taro lalu mencari tempat duduk yang nyaman, dia kemudian berjalan dan duduk di dekat dinding supaya Taro bisa bersender di dinding nantinya.
Mereka duduk saling berhadapan, pelayan lalu datang mengantarkan air untuk mencuci tangan. Setelah itu dia bertanya mau minum apa. Mereka memesan teh botol dingin dua, pelayan tersebut lalu meninggalkan mereka dan membawakan pesanan itu. Sedangkan pelayan lainnya membawakan mereka semua makanan. Tidak perlu memesan lagi jika memasuki rumah makan padang, semua sudah di antar sampai tempatnya. Nasi putih sampai duluan di meja mereka, dengan nasi putih tambahan dalam suatu wadah yang berlapiskan daun pisang di dalamnya. Dan lauk lainnya sudah sampai juga, mulai dari ayam goreng hingga ayam gulai, ada tahu tempe, perkedel, dan masih banyak lagi. Tinggal mereka ingin makan yang mana. Dimulai dengan ayam gulai yang menjadi korban keganasan perut Taro, dia mengambil satu potong ayam gulai. Taro menguras kering kuah gulai itu, dia juga mengambil perkedel dan menyiram beberapa sendok kuah ikan. Tidak kalah dengan Taro, Jimmy yang menggila menguras kering semua kuah yang ada di meja. Jimmy mengambil ayam goreng dan sepotong ikan pepes. Nasi yang di dalam tampan juga habis disikat mereka bedua. Memang perut remaja bisa memuat banyak, piring mereka menggunung karena nasi itu. Tanpa ragu-ragu mereka langsung melahap nasi yang ada di depan mereka.
“Makan Jim...”
“Hmm....”
Mereka berdua makan dengan menggunakan tangan, layaknya orang padang yang benar-benar menikmati cita rasa mereka sendiri. Namun di meja ada beberapa rendang, tapi tidak disentuh oleh mereka berdua. Beberapa menit mereka habiskan untuk melenyapkan makanan di depan mereka, dan semua terisi ke dalam lambung mereka yang sepertiya terbuat dari karet itu. Dengan tampang tidak berdosa, Jimmy bersendawa dengan nyaring sekali. Memang di sana terisi juga dengan beberapa orang yang makan. Namun mereka tidak menghiraukan Taro dan Jimmy, karena keadaan di sana juga berisik. Inilah salah satu perbedaan restoran dengan warung kopi.
Taro menghisap minumannya dengan sedotan yang tersedia, sedangkan Jimmy malah membuang sedotan itu kelantai. Suasana di rumah makan itu tidak berkurang sepertinya, orang-orang yang sudah selesai makan dan meninggalkan rumah makan tersebut. Selalu ada orang lain lagi yang menggantikan tempat duduk mereka, jadi bisa dibilang kalau jam makan siang maka rumah makan itu akan selalu ramai. Jimmy mengangkat tangannya untuk memanggil pelayan, dia memesan secangkir es jeruk lagi. Mereka berdua juga sepertinya sudah menyerah dan tidak bisa mengisi perut mereka lagi. Seketika es jeruk pesanan Jimmy juga datang, dia segera menghabiskan es jeruk yang masih penuh itu.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment