“Uda brapa lama di sini...?” tanya Kiki.
“Hah...?”
“Aku...?” tanya Taro menunjuk dirinya sendiri, Kiki lalu mengangguk.
“Belum ada sebulan kok, bener-bener hoki mungkin. Uda dapat kerja langsung.”
“Bukannya hoki, tapi emang nih tempat lagi kurang orang. Jadi emang udah nasibmu keterima di sini.”
“Gitu yah...?” Tanya Taro masih melahap makanannya.
“Eh... Loe ga kuliah...?” Tanya Kiki juga menyantap nasinya yang tinggal setengah.
“Emank aku kek anak kuliahan...? Ada tampang anak kuliahan gitu...?”
“Tampang plyaboy lebih dominan sih...”
“Begh... Beneran kek gitu, jatuh harga diri coy...”
“Kuliah mana loe...?” tanya Kiki masih penasaran dengan tempat kuliah Taro.
“Mana ada kuliah, kerja doank kok di sini. Mau kuliah sekarang mah susah, tempat belajar dijadiin tempat bisnis adanya. Duit ini itu serba mahal lah, tapi pengajarannya ga sesuai dengan harganya. Bener-bener ga cocok harga, tapi fakta juga sih...” kata Taro sambil tersenyum sinis.
“Fakta...?”
“Iya fakta... Negara kita geto loh...”
“Jah... Ga sadar diri... Di mana bumi kepijak, disitu langit dijunjung.” Kata Kiki dengan gaya yang sangat percaya diri, dia selalu beradaptasi dengan tempat lingkungannya.
“Bumi kepijak yah...” Taro hanya mengangguk-angguk mendengar pepatah Kiki yang sedikit berantakan. Mereka lalu segera menghabiskan nasi bungkus tersebut. Karena waktu istirahat mereka juga tidak begitu banyak, dan lagi masih ada konsumen yang datang ke sana untuk makan.
“Kerja oe kerja... Jangan bacod terus...” Kata seorang pelayan itu kepada Kiki dan Taro.
“Sabar nyeng... Makan aja lom selesai.” Balas Kiki, dia segera menghabiskan nasinya dengan cepat. Taro yang sudah seleai duluan langsung melipat bungkusan itu menjadi kecil dan dibuangnya ke tempat sampah berwarna hijau muda itu. Dia lalu mengambil celemek dan mengenakannya lagi.
“Juice jeruk dua, Ta...” Panggil Lily dari depan yang menerima pesanan konsumen.
“Orange Fried-nya juga dua, Sen...” Lily memberikan instruksi kepada pelayan dapur.
“Dia kek nyonya aja...” kata pelayan yang bernama Yansen, dia bertugas di dapur untuk menyiapkan makanan.
“Nyonya besar tuh, kalau mau awet kerja di sini. Mending jangan berontak deh...” sambung Kiki yang sudah selesai dengan makanannya. Dia lalu berdiri dan membuang bungkusan itu ke dalam tempat sampah. Dia juga mulai bekerja membantu Yansen. Konsumen terus berdatangan, mereka juga sepertinya sangat sibuk di dapur. Semua pesanan sudah disiapkan dan tinggal di antar ke meja masing-masing. Hingga tiba waktu shift mereka di ganti dengan orang berikutnya. Taro lalu melepas kostumnya dan segera beranjak dari rumah makan itu. Dia terus berjalan ke arah kosnya, dia sana terlihat seseorang pedangan kaki lima yang sedang menjual panci penggoreng. Tidak begitu laris memang, Taro lalu menyempatkan dirinya untuk menghampiri pedangang tersebut.
“Panci pak...?”
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment