“Kita mulai aja... Hmm... mulai dari pengetahuan dasar coba.”
“Ehmm... ya udah... ini sih pengetahuan dasar aku yah... maaf-maaf aja kalau ngga gitu membantu.”
“Mia tau ini apa?” tanya Taro sambil menunjuk tangannya sendiri.
“Tangan...” jawab Mia polos.
“Semua orang juga tau yah ini tangan, sekarang pertanyaan aku. Apa yang kamu lihat dari tangan ini?”
Mia lalu meletakkan jari telunjuknya didepan bibir, dia kelihatan sangat imut saat itu. Sepertinya Mia berpikir sangat keras untuk menjawab pertanyaan itu, dia takut itu hanya jawaban yang menjebak.
“Napa lama amat jawabnya?” tanya Taro sekali lagi.
“Ehmmm... tangan yah... yang Mia liat sih cuma tangan doank. Emang ada yang lain.”
“Nah... itu yang harus kita betulin Mia... ini memang cuma tangan, tapi napa kamu ga liat hal yang ditimbulkan oleh tangan ini.”
“Maksudnya?” Mia semakin kebingungan.
“Kita... ga seharusnya ihat semua cuma dari satu sisi, semua punya sisi yang beda. Dan tangan, seketika tangan akan sangat berguna saat kita makan. Dia ngasih banyak perbuatan yang mudahin kita, dan lagi tangan bisa membuat cinta. Saat sepasang kekasih pelukan, kebanyakan mereka memulai dengan tangan duluan. Ngga ada kan orang yang berpelukan maen tabrak aja gitu, pasti salah satu ditarik oleh tangan.”
“Hmm... iya ya ya...” Mia mengangguk-angguk.
“Ngga sampe di sana aja Mia, tangan bisa nyiptain kasih. Tapi tangan juga bisa buat kebencian, saat seseorang sedang disulut oleh emosi. Mereka bisa nyakitin orang lain pake tangan mereka seperti nampar atau mukul. Jadi kita perlu lihat sesuatu dari dua sisi. Jangan langsung ngecap sesuatu hanya dari satu sisi. Sebenarnya itu semua tergantung tentang gimana orang itu menggunakannya.
“Hmm... Mia ngerti... tapi kadang kita kan ngga bisa terus-terusan mikir untuk itu.”
“Betul sekali... memang pas kita berada di posisi yang tertekan, pasti sulit banget buat kita untuk mikir dengan jernih. Tapi coba aja, saat kita emosi. Jangan dilampiaskan dengan marah-marah. Seorang filsuf ngomong gini “Jika kamu salah, katakan salah. Dan jika kamu benar, janganlah membesar-besarkan kebenaran itu.” Kata-kata itu memang sulit dicerna orang, pasti orang-orang bakal mikir tentang kerugian kalau dia hanya diam saja saat dia dalam posisi benar. Tapi itu semua kembali kepada orang yang menilai, seperti katamu barusan. Orang yang sudah menilai buruk, gimanapun orang yang dinilai buruk itu berbuat baik dan membesarkan kebaikannya. Tetap saja dia akan di pandang buruk. Setuju...?”
“Agak sih...” Mia mulai cengengesan mendengar pendapat itu.
“Nah... kita coba yang lebih sulit yah... Mia ada foto close-up?”
“Ada... buat apa?”
“Pinjam aja bentar... ngga di pelet kok.”
“Jangan ngeledek yah kalau jelek.” Mia lalu berdiri dan mengambil fotonya dari dalam laci meja.
“Yang ini ngga apa-apa kan?”
“Ngga masalah, asal dapat foto wajah aja. Nah kita mulai lagi.” Taro kemudian mengambil buku Mia yang tergeletak di lantai, dan dia menutupi separoh wajah Mia. Dan hanya terlihat wajah Mia yang sebelah kanan.
“Jelek banget...” kata Mia melihat foto itu sendiri.
“Mia yang bilang lho... ini salah satu suduh pandang yang kita pakai. Manusia pasti punya dua sisi seperti ini.” Taro memperlihatkannya dengan menutupi wajah kiri dan kanan secara bergantian. Dan memang terlihat seperti ada yang aneh saat itu.
“Dari sini kita bisa nilai orang tersebut. Jujur aku juga masih belajar yang ini, gimana? Kebantu ga...?”
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment