Saturday, 25 April 2009

LOST Chap 53

“Entahlah... Mungkin lebih baik jika memang itu kenyataannya, aku berharap bukan anak mereka. Entah anak pungut atau apa terserah lah... Semua yang jelek selalu mengarah ke diriku. Aku juga ga tau itu hanya perasaanku saja atau apa... Tapi aku juga bisa mikir, setiap ada kesalahan mereka selalu membanding-bandingkan aku dengan kakakku. Kadang hanya masalah kecil bisa mereka buat jadi besar, dan aku yang kena imbasnya. Apa lagi kalau masalah uang.”
“Saat aku masih bersekolah dulu, Mia mau percaya atau tidak terserah. Namun uang saku yang aku dapat jarang sekali, paling hanya uang bensin untuk transport. Tapi itu pun harus dimaki-maki dulu baru diberikan, kadang juga tidak dikasih. Hingga aku harus menggunakan uang sendiri. Sedangkan dulu masuk sekolah masih harus bangun pagi, jadi aku ga pernah sarapan dirumah. Dan jarang sekali jam istirahat aku membeli makanan. Jadi selama di sekolah aku hanya duduk menahan lapar sambil mengikuti pelajaran. Terkadang kalau lapar sudah tidak tertahan baru aku memakai uang sendiri untuk membeli sarapan.”
“Saat itu juga aku belum kerja, jadi belum ada penghasilan. Jelas uangku akan habis dengan sendirinya, lalu saat aku meminta. Mereka memarahiku, dibilang kalau aku boros. Kemana saja uang yang mereka berikan selama ini... Aku jadi bingung sendiri dengan sikap mereka.”

“Apa benar seperti itu...?”

“Entahlah... Tadikan aku sudah bilang, entah perasaanku saja atau kenyataan. Dan lagi kakakku diizinkan untuk kuliah, sedang aku ga boleh kuliah. Mereka bilang kendala ekonomi, terserah kalau begitu. Aku ga maksain kalau masalah ekonomi, tapi kenapa...? Kenapa mereka terus diberi uang saku yang jumlahnya berkali-kali lipat dari aku di sini. Bahkan hanya untuk meminta uang lima ribu pun aku sampai di maki-maki dulu.” Mata Taro sudah mulai berkaca-kaca menceritakan masa lalunya dirumah.

“Ng...” Mia tidak bisa berkata apa-apa juga.

“Jujur selama itu aku sudah ga tahan lagi dirumah, ditambah lagi dia menjauhi diriku. Benar-benar aku merasa seperti orang yang tidak berguna, hanya seperti sampah yang mengganggu pemandangan. Setiap gerakanku sepertinya salah, hingga makan sekalipun aku masih juga di maki-maki. Hanya masalah sepele, sendok yang berbunyi terlalu keras karena mengenai piring. Aku langsung di maki-maki, apa lagi kalau ada Papaku dirumah. Maka aku benar-benar jadi bahan olok-olok.”

“Maafin Mia...” Mia sepertinya merasa bersalah menyuruh Taro menceritakan masa lalunya.
“Tapi Tata yang sabar yah...”

“Perkataan itu, aku pernah mendengarnya juga. Namun sekarang orang yang mengucapkan itu sudah tidak menemaniku lagi. Tiga tahun aku menderita dan tidak bisa bercerita kepada siapapun. Ingin aku berteriak sekeras mungkin karena beban di hati ini. Dia yang begitu sabar menenangkan aku kalau sedang kacau, namun sekarang dia... Dia...” Taro mulai meneteskan air matanya karena tidak bisa bercerita lagi, beban selama itu selalu dipendam Taro sendirian. Mia yang sudah tidak tahan melihat derita Taro mencoba menenangkan Taro dengan memeluknya. Air mata Taro terus mengalir dari matanya. Mia terus mendekap Taro agar dia merasa tenang, Mia juga membelai Taro sambil berbisik agar Taro menghadapi semua ini dengan sabar.

“Sabar Ta... Mia ga mungkin bisa ngerasain penderitaan Tata...” Mia mencium kepala Taro, sedang Taro hanya terdiam terus dengan air mata yang mengalir perlahan.
“Melihat dia yang biasanya, ga kusangka ternyata selama ini bebannya lebih berat dariku. Namun dia tidak mengeluh terus karena beban itu, sedangkan aku yang semua sudah bisa didapat masih saja mengeluh. Maafin aku Ta...” Bisik Mia dalam hati, matanya juga mulai berkaca-kaca karena dia sedikit bisa merasakan penderitaan Taro selama itu. Mia masih memeluk Taro, dan terlihat Taro sudah mulai tenang lagi. Taro memejamkan matanya untuk menenangkan pikirannya yang kacau itu. Taro melepas pelukan Mia.

“Maaf... Sudah asal nangis depan Mia...” kata Taro dengan air mata masih mengalir. Mia lalu membersihkan air mata itu dari wajah Taro.

“Ga apa-apa kok... Tapi Mia mohon... Tata jangan selalu memendam kesedihan itu sendirian, Mia yakin masih ada orang yang ingin meringankan kesedihan Tata...”
“Tata jangan nangis la yah...” kata Mia masih membersihkan air mata Taro.

“Aku pernah berpikir... Di suatu hari, dimana cuaca sangat dingin. Dan aku sedang kedinginan karena cuaca itu, dia datang dan memelukku untuk menghangatkan diriku yang lemah ini. Mungkin ini terdengar seperti lelucon, namun aku berharap itu terjadi.”

“Sama sekali bukan lelucon buat Mia... Mia rasa itu benar-benar romantis...” Mia tersenyum.

“Saat dulu aku sedang sedih, dia terus menyemangatiku. Namun aku tidak pernah mengerti perasaan dia, aku sepertinya sangat egois. Selalu menceritakan masalahku tanpa tau apa dia sedang dalam keadaan yang bisa mendengarkan atau tidak.”

No comments:

Post a Comment