“Ta... kamu ga apa-apa kan...?” tanya Mia sambil memapah Taro kembali ke kasurnya untuk istirahat. Taro hanya diam, dia memejamkan matanya. Mia pun tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Dia keluar meninggalkan Taro sendirian, saat diluar kamar Richard sedang menunggu di teras dengan wajah yang masih kebingungan. Richard lalu melihat kearah Mia, dan Mia memandanganya dengan tatapan tidak senang.
“Dia itu...” Richard belum selesai berkata-kata, tamparan kembali mendarat di pipinya.
“Mia cape harus ngadepin orang yang kerjaannya cuma bisa marah-marah, mending kita putus aja kalau sifat kamu masih begini. Mia nyesal harus sayang dengan orang egois...!” Richard hanya terdiam mendengar kata putus, mata Mia juga sudah berkaca-kaca saat itu.
“Mia sudah cape Chard... Setiap kali harus ngalah. Tapi apa pernah Richad ngalah dengan Mia...! Apa Richard ngerti perasaan Mia...! Mendingan Mia milih dia daripada harus sama orang yang kerjaannya marah terus...!”
“Tapi Mia... Aku hanya berkata yang sesungguhnya tadi...”
“Apanya yang berkata sesungguhnya, apa kamu tau masa lalu dia gimana...! Apa kamu juga mikirin perasaan dia gimana selama ini...! Kamu itu kelewat egois, hanya mentingin diri sendiri...!”
“Tapi ini karena gue sayang dengan Mia...”
“Sayang apanya...! Apa sayang harus begini caranya... Ah... malas ketemu kamu lagi, mendingan jangan pernah cari Mia lagi.” Mia lalu meninggalkan Richard dan kembali ke kamar Taro, dia mengunci kamar itu. Richard berusaha membuka pintu kamar Taro, namun sudah dikunci oleh Mia dari dalam. Mia lalu berjalan sambil menangis mendekati Taro, dia duduk disamping Taro.
“Maaf yah... gara-gara dia, Tata jadi begini. Mia nyesal harus ketemu dengan orang kek dia. Orang yang kerjaannya cuma marah-marah dan main kasar.” Taro lalu membuka matanya.
“Apa dia pernah ngasarin Mia...?”
“Kata-katanya terlalu kasar buat Mia, waktu itu dia bilang Mia wanita penggoda. Cowok macam apa yang ngatain pacarnya kek gitu.”
“Selain itu...?” Mia lalu menggelengkan kepalanya tanda bahwa Richard hanya pernah mengasarinya selain dengan perkataan.
“Saat itu aku sedang ada dikamar Mia, seorang pria dan wanita satu kamar. Pasti menimbulkan pikiran yang negatif, saat itu aku yakin dia terbawa emosi hingga berkata begitu.”
“Ngapain dibela sih orang kek dia...”
“Sama sekali aku ga belain dia, tapi aku rasa dia itu bener-bener sayang dengan Mia.”
“Sayang apanya, sayang kok harus kek gitu caranya.”
“Pria...”
“Itulah pria... banyak cara mereka menyampaikan rasa sayangnya, ga semua pria menyampaikan rasa sayang atau kesalnya dengan cara yang sama.”
“Tapi Mia uda kelewat sakit hati, Ta...”
“Sakit hati yah... Mia lihat tanganku...” Kata Taro sambil mengangkat tangan kirinya, Mia hanya memerhatikannya.
“Aku ambil pisau dan aku lukai tanganku sendiri... Apa Mia bisa membayangkannya.” Taro memperagakan pisau itu dengan jari telunjuknya yang disayat ke tangan.
“Pasti sakit lah...”
“Aku ga nanya sakit atau tidak, yang aku maksud... Apa Mia bisa ngebayangin sambil ngerasain saat pisau itu ngiris dagingku perlahan.” Mia hanya mengangguk.
“Mia bisa ngerasain pisau itu ngiris tangan orang lain, dan Mia ngerasain gimana jika itu terjadi ke Mia. Ngapa Mia ga ngerasain hatinya sakit saat melihat Mia sedang berdua dengan orang lain. Satu kamar lagi...” Mia lalu terdiam, dia tidak bisa membantah.
“Pria itu manusia yang penuh misteri, jarang ada cewek yang penuh misteri. Kebanyakan cowok yang penuh misteri, entah mereka sok cool atau apa gitulah.” Canda Taro sedikit, dan itu membuat Mia sedikit tersenyum.
“Seperti kataku tadi, mereka nyampein perasaan mereka dengan cara yang berbeda.”
“Tapi Mia ga suka dengan cara dia.”
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment