“Maaf...” kata Mia sambil menyeka air matanya yang mulai berhenti.
“Aku ga bisa ngomong apa-apa, ini masalah kalian. Dan aku ga ingin ikut campur masalah orang lain.”
“Tapi Tata tadi liat sendiri kan gimana sifat dia... apa cowok seperti itu harus dikasihi...?”
“Boleh aku bicara...?” tanya Taro, dan Mia hanya mengangguk.
“Perkataan memang lebih mudah ketimbang perbuatan, dan yang ingin aku sampein. Justru orang seperti Richard yang sangat harus kita kasihi, karena ga ada yang bisa memperbaiki mereka selain kita.”
“Tapi Mia uda ga tahan lagi...”
“Entahlah... Aku ga...” Taro belum selesai dengan kata-katanya, Mia kembali memeluk Taro dengan erat.
“Andai Mia mengenalmu dari dulu, mungkin Mia ga bakal menderita seperti ini.” Kata Mia yang masih memeluk Taro.
“Dengerin dulu...” Kata Taro sambil melepaskan peluka Mia, Taro memegang kedua bahunya.
“Kalau aku umpakan diriku sebagai Mia, maka... aku ga akan seperti ini sekarang. Jika dulu aku juga ga ketemu dengan dia terus ditinggalkan seperti ini, apa mungkin aku akan seperti ini juga sekarang...? Jalan yang di ambil pasti ada ujungnya, hanya kita ga tau apa isi jalan itu di tengah-tengah saat kita melewatinya. Dan kita juga belum tentu tau apa isi dari ujung jalan ini, apakah menyenangkan atau malah sebaliknya. Kebetulan atau tidak, yang merubah aku jadi seperti ini ga lain dan tidak bukan adalah dia. Dan Mia harus dapat ngerubah sifat orang itu, karena cuma dengan kasih dari orang yang dicintai. Percaya atau tidak, orang itu akan berubah perlahan.”
“Sekarang sudah ga gitu sedih lagi kan...?” tanya Taro dengan senyum, Mia hanya mengangguk pelan.
“Baguslah kalau begitu, mendingan Mia sekarang berangkat aja. Daripada telat nantinya, dosen sekarang banyak yang galak.” Canda Taro, dan Mia sedikit tersenyum mendengar itu. Taro lalu beranjak keluar dari kamar Mia dan melanjutkan perjalanannya lagi, sedang Mia masih di dalam kamar menyeka air matanya yang membasahi wajah Mia.
Richard yang tadi terduduk di tangga juga sudah tidak ada lagi. Taro lalu berjalan, kemarin dia hanya menelusuri jalan raya. Kali ini Taro memasuki jalan tikus untuk berkeliling disekitar sana.
Dia mendengar suara hentakan bola, Taro tersenyum sedikit. Dia mulai mengikuti arah suara dari hentakan itu, dia terus berjalan hingga suara itu makin terdengar bercampur dengan suara beberapa orang yang ada disana. Taro melihat beberapa orang sedang berdiri di lapangan basket itu, mereka berjumlah sembilan orang. Namun satu orang lagi sedang duduk saja tidak ikut bermain, Taro makin mendekati mereka. Suara dari kedelapan orang yang sedang bermain itu terdengar sangat jelas oleh Taro. Kemudian orang yang duduk itu melihat kedatangan Taro, namun dia masih diam saja dan melihat teman-temannya yangs edang bermain. Taro makin mendekati orang yang sedang duduk itu, lalu orang yang duduk itu berdiri dan menyapa duluan. Mereka hanya tersenyum-senyum dan belum memulai pembicaraan.
“Nganggur...?” mulai Taro setelah beberapa saat melihat mereka bermain.
“Kurang orang... kamu bisa main...?” tanya orang itu, Taro hanya mengangguk. Orang itu lalu berdiri, dia menepuk tangannya beberapa kali sebagai tanda agar yang lain memerhatikan dia.
“Ada orang oi... kita bisa main satu lapangan.” Orang-orang yang sedang bermain lalu mendekati mereka berdua.
“Eh... aku ga bilang mau main lho... lagian juga pake sendal doank nih...”
“Cuek aja... katanya bisa main.” Kata orang itu sambil meminta bola dengan temannya.
“Nih...” dia lalu melempar bola itu ke arah Taro. Taro kebingungan saat memegang bola itu.
“Tembak...” sambung orang itu menunjuk ke arah ring.
Taro hanya tersenyum, dia lalu menggiring bola itu pelan masuk kedalam lapangan. Dia berhenti digaris tiga poin dan masih memantulkan bolanya, sedang yang lain hanya melihat Taro yang ingin menembak dari sana. Taro lalu memegang bola itu dengan kedua tangannya dan bersiap menembak, dia mengangkat bola itu dan melepaskannya menuju ke arah ring. Orang-orang menahan nafas melihat tembakan barusan, bola masih melayang menuju ke arah ring. Namun lemparan barusan hanya mengenai bibir ring dan sama sekali tidak masuk, Taro hanya menggaruk kepalanya sambil tertawa sedikit. Sedang yang lain mengira bahwa tembakan barusan akan masuk.
“Kita main...” kata orang itu.
“Oh ya... namamu...?”
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment