Taro berjalan kembali ke arah koskosannya, kendaraan bermotor berlalu lalang. Menimbulkan banyak sekali polusi, beda sekali dengan kota kelahiran Taro. Walaupun hanya kota kecil, namun polusi tidak separah di ibukota. Dia terus melangkah kedepan, sesekali Taro melihat kesana kemari. Dia melihat banyak sekali gelandangan disana, dan Taro berbisik dalam hati.
“Hidup kok ngga mau usaha, kerjaan tiap hari minta-minta.” Entah kenapa Taro kurang begitu senang dengan pengemis, karena dalam pandangannya. Kebanyakan pengemis masih sehat dan bisa melakukan beberapa pekerjaan, kenapa harus memelas dan memasang tampang yang menyedihkan untuk meminta-minta. Kenapa mereka tidak berpikir bagaimana untuk berubah dari kehidupan tersebut. Taro menyukai psikologi semasa SMA. Jadi dia selalu melihat kejadian dan merenungkannya dengan cepat, dan lagi saat dia masih berada di bangku SMA. Tidak sedikit dari teman-temannya yang meminta saran dari Taro. Tidak terasa langkah kaki Taro yang terus berjalan membawanya kembali ke koskosannya. Dia lalu menaiki tangga itu dan menuju ke kamarnya sendiri. Taro membuka pintu itu dan segera masuk, dia mengunci pintu itu dari dalam dan tetap membiarkan kunci bergelantungan di pintu. HP nya kembali bergetar, dia lalu melihat ada SMS lagi yang masuk.
“OK... Ta... kapan-kapan kita jalan bareng. Lama juga ngga ketemu neh...” Itu balasan dari Jimmy, mereka bersahabat dari SD. Memang sering bertengkar juga dulunya, namun itulah yang mempererat pertemanan mereka. Hingga sekarang mereka masih saling berkomunikasi, Jimmy putus sekolah saat berusia 15 tahun. Bukan karena dia tidak mempunyai biaya untuk melanjutkan sekolahnya. Namun dia meneruskan bisnis orangtuanya. Dan sekarang dia sudah menjadi pengusaha yang masih sangat muda. Namun sifatnya masih tidak berubah, masih saja seperti anak kecil. Pembawaannya gokil abis, pokoknya dia seperti orang gila kalau sedang bepergian.
“OK... Jim... kapan-kapan kalau aku bisa ke tempat kalian, kuhubungin langsung kok.” Taro melempar HP nya ke tempat tidur, lalu dia menaruh makanan yang dibelinya di meja. Taro kembali membuka ranselnya dan mengambil mie instan dari dalam ransel itu. Dia mengeluarkan sebungkus dan berjalan ke arah dapur di mana dia meletakkan pancinya tadi saat berberes-beres. Masih belum ada air masak saat itu, Taro terpaksa mengunakan air keran untuk memasak mie instant itu. Taro menghidupkan air keran itu dan mengisinya ke dalam panci. Segera dia menghidupkan kompor, beruntung gas sudah disediakan oleh pemilik koskosan itu. Jadi Taro bisa langsung memasak mie instant itu, ada beberapa piring juga disana yang disediakan pemilik. Jadi Taro bebas menggunakannya asal tidak merusak.
Beberapa saat kemudian mie yang dimasak Taro sudah matang, dia segera menyantap mie tersebut. Terdengar suara dari HP Taro, sepertinya seseorang menelpon dia saat itu. Taro meninggalkan mie yang sudah ditaruh di piring tadi, dia segera melihat siapa yang menghubunginya. Tapi dia tidak mengangkat telpon tersebut, melainkan mematikannya.
“Napain mereka telepon, masih ingat anak juga...” kata Taro dalam hati sambil melempar kembali HP nya ke atas kasur, dia lalu kembali menyantap mie instant buatannya sendiri.
“Selamat makan ~” Taro berbicara sendiri.
Hari yang melelahkan dilewati Taro sendirian, matahari yang bersinar sudah tidak menunjukkan wajahnya lagi. Taro bangun dari tidurnya, rambutnya yang hitam kecoklatan itu acak-acakan dan matanya masih sayu. Dia lalu mengusap matanya beberapa kali, sambil menguap tentunya. Dia menurunkan kakinya duluan ke lantai, Taro masih duduk di atas kasur untuk menenangkan tubuhnya yang masih bermetabolisme. Beberapa saat kemudian Taro berdiri dan membuka lemari, dia mengambil kaos berwarna hitam celana sebetis berwarna hitam juga tidak lupa dengan celana dalam. Taro lalu segera menuju ke kamar mandi untuk menyegarkan kembali tubuhnya. Beberapa saat Taro sudah selesai mandi, dia keluar dengan kostum berwarna hitam semua. Tapi rambutnya masih belum disisir dan masih basah. Malam itu Taro masih ingin mengelilingi sekitar tempat tinggalnya. Dia lalu ke arah lemari dan mengambil sisir, dia menyisir rambutnya dengan mengangkat beberapa kali dan rambutnya akan dengan sendirinya membuat style sesuai dengan Taro.
Taro lalu berjalan ke arah pintu dan membuka kuncinya, saat dia keluar. Secara kebetulan Taro berpas-pasan dengan seorang wanita, itu adalah wanita yang tinggal disebelah kamarnya. Taro hanya menunduk dan sedikit tersenyum sebagai salam, tapi wanita itu malah membuka pembicaraan duluan.
“Anak baru ya...?” kata wanita itu. Perempuan berambut panjang, dia memakai spatu dan celana panjang berwarna krem. Dan baju berwarna putih serta tas selempang berwarna pink yang dibawanya. Perempuan itu seperti anak kuliahan.
“Oh... iya... namaku Taro...” Taro mengulurkan tangannya.
“Mia... Mia Gracia...” mereka berdua lalu bersalaman.
“Baru pulang...?” tanya Taro.
“Iya... baru selesai kuliah, dan hari ini ada tambahan jadi agak malam pulangnya. Kamu juga kuliah di sini?”
“Ehm... Ga kok...” Taro mengedipkan matanya dengan cara biasa.
“Aku cuma pengen jauh dari rumah saja... Jadi... panggil apa enaknya?”
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment