“Hmmm... sampai sekarang masih...?”
“Ga lagi, semua udah lewat. Dia bilang setelah tamat SMP mau ngelanjutin ke sini, dan saat selesai ujian akhir. Aku SMS dia, tapi nomornya hilang. Dan aku coba nelpon dia, katanya dia sudah pindah. Hari itu kayak benar-benar kesambar ama petir. Aku ga pernah dapat kabar lagi dari dirinya. Mia bilang kalau aku ngga pernah ada masa susah yah.”
“Masa susah diriku dimulai dari saat itu, aku terus nyari nomor HP nya yang baru. Akhirnya aku dapat nomor HP nya. January 2007 aku SMS dia, dan dia ngomong jangan pernah hubungi dirinya lagi. Dia minta kalau hubungan yang kami jalin berakhir saja. Itu masih belum masa suramku, aku masih SMS dia. Hingga suatu saat mungkin aku berkata salah, dia makin benci sama aku. Dan aku dimaki-maki olehnya. Tapi aku tetap berusaha untuk mendekati dia.”
“Hmm...” wajah Mia juga mulai ikut sedih saat itu.
“Dimulai saat itu, dia bilang aku kurang perhatian dan aku egois karena ga mau mengerti dirinya. Memang semua salahku, tapi aku juga manusia. Pasti pernah buat salah. Dan itu pertama kalinya aku mencintai seseorang dengan tulus. Dia tau kalau kondisi aku di rumah ga gitu baik, aku sendiri di rumah kurang perhatian. Aku berharap kalau ada orang yang bisa memberiku perhatian lebih ketimbang orang rumah. Namun aku ga mau ngomongin itu. Aku mencoba sebisa mungkin memendam perasaan sakit sendiri. Dan percaya atau enggak, bukannya apa. Tapi untuk beli pulsa HP itu sangat susah. Kadang harus dimaki-maki dulu oleh orang tua dan itupun belum tentu dibelikan. Mereka bilang aku boros pemakaiannya, padahal bukan boros. Melainkan masa aktif sudah habis, dan coba pikirkan. Gimana aku bisa kasih dia perhatian kalau HP ngga bisa dipake, dan telepon rumah juga sangat ketat dijaga. Kalau ngga penting ga boleh menelpon. Aku masih coba diam saja saat itu, ga mau ngomong alasan itu.”
“Itu...” Mia ingin berbicara, tapi Taro masih melanjutkan ceritanya.
“Ini mungkin salahku, aku selalu cerita masa lalu yang begitu indah. Aku ga tau kalau itu nyakitin dirinya, dan aku terus ngomong seperti itu berharap dia mau mengerti aku juga. Tapi dia tetap memarahi diriku, aku ga tau apa dia nangis atau ga. Yang aku tau dia nangis saat aku ngomong ga akan ngelupain dirinya walaupun dia harus pindah. Dia lalu nangis karena aku ngomong kek gitu, tapi kenapa sekarang jadi begini...”
“Tata yang sabar yah... maaf sudah bertanya yang tidak-tidak.”
“Setelah itu aku ngelanjutin nih hidup seperti mayat, hampir setiap malam aku nangis. Paginya aku bangun dengan mata yang membengkak, temanku ketawa dan bertanya kenapa. Aku bilang kalau aku kurang tidur. Dua tahun... Aku masih ingat, dua tahun lamanya...” kata Taro sambil membuat angka dua dengan jari telunjuk dan tengahnya.
“Aku ga pernah tersenyum selama itu... aku hanya tersenyum jika terbangun saat memimpikan dirinya. Namun senyum itu diiringi dengan air mata karena aku hanya bisa mendekati dia di dalam mimpi. Tapi aku senang.... walaupun hanya mimpi tapi aku masih bisa ketemu dia. Dan aku masih ingat 16 september 2006 hari sabtu. Aku datang kesini dan kerumahnya, hari itu sangat membahagiakan diriku karena bisa ketemu lagi dengan dia. Tapi waktu dua jam terasa seperti dua menit, aku harus kembali lagi. Dan sampai sekarang aku belum pernah bertemu dengan dia lagi.”
“Saat kembali dari sini, aku selalu ingat dia. Terus kuingat dirinya sampai sekarang, kadang aku mulai nangis sendiri dalam gelap malam. Makian orangtua ku saat aku baru pulang dari rumah teman, membuat aku semakin ingin menangis. Karena aku ga tau harus bersender kepada siapa. Kalau dulu dia masih ada didekatku, aku bisa berbagi dengan dia. Tapi saat hubungan kami berakhir, aku benar-benar ga tau harus gimana lagi.”
“Ta...” Kata Mia memegang punggung Taro.
“Aku masih nyimpan foto pemberiannya hingga sekarang, kusimpan dirumah disuatu tempat yang kukira ga bakal rusak. Itu foto pemberian dia saat aku ulang tahun. Dan dia ngasih hadiah boneka bantal untukku.” Kata Taro tersenyum sedikit.
“Semua itu masih ada dirumahku sekarang. Dan alasan kenapa aku ke sini, aku hanya ingin ketemu dengan dia. Dan untuk kesekian kalinya aku akan minta maaf karena kebodohanku karena lepasin orang yang sangat berharga.” Taro memegang matanya, air matanya sudah mengumpul di mata dan siap untuk keluar. Nafas Taro juga tidak normal, sepeti nafas orang yang ingin menangis.
“Dan kamu tahu Mia...” Mia lalu melihat ke arah Taro.
“Aku ga pernah nyesal karena menyukai dia, aku ngerasa sangat beruntung bisa ketemu dan dekat dengan dia. Dan jika bisa aku mau ngulangin semua kejadian itu mulai saat ini. Saranku... Jangan pernah tinggalin orang yang sangat menyayangi Mia, sejelek atau sejahat apapun orang itu. Jika dia benar-benar tulus sayang dengan Mia, jangan pernah hindari orang itu. Ga perlu berhubungan lebih dalam, cukup berteman saja dengan dia. Dan jika dia ingin berbicara, cukup temani dia saja. Maka orang itu akan merasa sangat bahagia karena orang yang ia sayangi masih menganggap dirinya itu ada.” Taro menarik nafas panjang.
“Sudahlah... sudah malam, Mia istirahat saja. Mia juga baru sembuh, ga baik tidur malam-malam.” Taro segera berbalik dan masuk kekamarnya dengan mata berlinang.
“Dia...” Mia lalu merunduk sejenak, kemudian memutar badannya lagi dan melihat ke langit.
“Sungguh beruntung wanita itu... masih dicintai walaupun sudah buat Taro sakit hati.” Kata Mia dalam hatinya.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment